Sastra dan Kebudayaan


Penulisan ini memaparkan mengenai definisi kebudayaan, dan dua aliran pendekatan kritik sastra yaitu New Historicism (Historisme Baru) dan Cultural Materialism (Materialisme Budaya).

Definisi Kebudayaan

Matthew Arnold dalam bukunya Culture and Anarchy memaparkan tentang oposisi biner antara kebudayaan yang teratur dengan yang carut marut. Istilah kebudayaan, secara sempit didefinisikan sebagai kebudayaan ‘tinggi’ – kebudayaan untuk spesifik orang. Arnold tidak pernah menggunakan istilah kebudayaan yang merujuk ke bidang antropologi atau sosiologi yang memiliki makna cara hidup dan pandangan melihat dunia, disebut juga istilah kebudayaan kelas pekerja. Perbedaan definisi kebudayaan ini tetap hidup melalui kritik klasik dari kritikus Inggris dan Amerika, terutama mengenai misionaris dan urgensi moral. Bagi pendukung Arnold, Leavis, kritik sastra- memiliki tugas untuk mempertahankan standar kebudayaan ‘tinggi’ dan menyingkirkan segala sesuatu yang dianggap ‘rendah’.

Awalnya kritikus tradisional tidak begitu mengerti akan kelas rendah dan atau kebudayaan massal. Tapi hal tersebut berubah pada akhir 1950-an melalui kritikus Inggris Richard Hoggart The Use of Literacy : Aspect of Working- Class Life with Special Reference to Publication and Entertainments (1957) yang memaparkan kelas pekerja Yorkshire pada tahun 1930-an dan 1940-an yang dikombinasikan dengan majalah populer saat itu, serta Raymond Williams Culture and Society, 1780-1950 (1958) yang menelusuri gagasan perkembangan kebudayaan di Inggris sejak abad 18 akhir sampai tahun penulisan. Keduanya, Hoggart dan William adalah lulusan sastra dan penganut Marxist, dan keduanya menekankan kebudayaan yang memiliki nilai dan kualitas, terutama dalam kebudayaan kelas pekerja, yang dari perpektif kebudayaan ‘tinggi’ hal ini telah dikesampingkan.

Menurut Hoggart, kebudayaan kelas pekerja adalah sederhana, ‘kekanak-kanakan’, tapi tulus, autentik, dan jujur. William juga menggaungkan kemiripan sifat yaitu kebudayaan yang teratur, umum, memiliki solidaritas. Tetapi adanya kebudayaan alternatif seperti kelas menengah dan kelas rendah tidak mengesampingkan kebudayaan umum.

Gagasan Hoggart dan William sebagai dasar dari kritik kebudayaan – untuk mengidentifikasikan nilai dan menolak yang tidak diinginkan – telah bergeser. Hoggart lebih menekankan kebudayaan kelas pekerja yang bekerja untuk uang. Sedangkan William menaruh harapan pada kebudayaan umum, berdasarkan nilai-nilai kelas pekerja seperti solidaritas demokratis, sebagai kritik dari pembangunan yang merusak dengan adanya ideologi pasar bebas (kapitalis). Keduanya mengembangkan studi kritik sastra secara radikal, dengan William memperkenalkan konsep kebudayaan antropologi virtual walaupun ia menekankan pentingnya karya sastra. Walaupun keduanya dianggap kini sebagai pemikiran intelektual kuno, gagasan mereka yang kini disebut ‘studi kebudayaan’ menjadi studi yang menarik di kalangan akademik sastra. Hal ini terlihat dalam pamflet Hoggart yang dipublikasikan pada 1969 : Contemporary Cultural Studies : An Approach to the Study of Literature and Society. Sejak tahun 1970, kritik di Inggris telah berkembang pesat lebih jauh dari hubungan sastra dan masyarakat. Perkembangan ini disebabkan antara lain oleh wawasan, jika ditarik dari Althusser dan Foucalt- adalah gagasan dan juga aksi dalam bentuk praktek kebudayaan – bentuk kekuatan yang memiliki pengaruh besar. Kekuatan tidak lagi dipandang sebagai istilah militer, ekonomi, politik, tapi juga ditemukan pada aktivitas yang tidak merugikan dan menyenangkan. Kebudayaan menjadi penting daripada yang diperkirakan. Alasan lain adalah pertanyaan dari pemikir poststrukturalis radikal tentang perbedaan antara teks sastra dan non-sastra membuat adanya jarak antara teks sastra dan lainnya dan menyebabkan peningkatan kritik sastra dari bawah. Hal ini menjadi jelas bahwa studi kebudayaan telah berubah secara fundamental sejak adanya Hoggart dan Williams. Selama 1980-an dan 1990-an penganut studi kebudayaan telah menerima penyangkalan poststrukturalis yang melihat kebudayaan sebagai istilah yang autentik. Kebudayaan, siapapun itu yang melihat, baik kalangan Renaissance Inggris atau pendukung fanatik bola, akan dilihat sebagai buatan dengan kata lain diproduksi- dengan hasil akhir adalah rangkaian dari interaksi dan pertukaran. Tidak ada kebudayaan yang dapat mengklaim kebudayaan itu autentik dan tidak ada kebudayaan yang memberikan penilaian kebenaran, di luar kebudayaan itu, diluar wacana itu, jika berdasarkan istilah Foucault.

Meskipun pengaruh Foucault menyebar, dalam studi kebudayaan, yang utamanya berfokus pada kebudayaan Barat, dan didalamnya berpusat ada aktivitas kalangan muda – memungkinkan perlunya banyak agen perubahan dibanding yang Foucault kira. Kebudayaan yang tidak terelakkan seperti rap, musik, film, game komputer dan lain-lain – sebagai kendaraan yang memiliki kekuatan, tapi kritikus masih berdebat apakah produk kebudayaan seperti ini dapat diterima dan digunakan. Beberapa ahli studi kebudayaan berdebat terutama mengenai efek memerdekakan yang ditimbulkan dari kalangan muda yang diasumsikan tidak diniatkan oleh mereka tapi secara politik diterima (jika memang setuju dengan ide mereka).

Studi kebudayaan memfokuskan diri tidak ke karya sastra saja tapi melebar ke kebudayaan kontemporer virtual dengan segala manifestasinya.

Aliran Historisme Baru dan Materialisme Budaya

Kebudayaan dan studi sastra adalah dua hal yang utama dalam kritik kontemporer : aliran historisme baru, yang berasal dari Amerika, sedangkan Aliran Materialisme Budaya berasal dari Inggris.

Kedua hal ini sudah menjadi studi sastra sejak sastra Renaissance, seperti karya Shakespeare, yang berorientasi Marxis dan poststrukturalis, wacana dengan aliran Historisme Baru condong ke Foucault (poststrukturalist) sebagai kekuatan, sedangkan yang lainnya aliran Materialisme Budaya lebih condong ke Marxisme dari Raymond Williams (yang mencetuskan istilah ‘materialisme kebudayaan’ dalam karyanya Marxism and Literature (1977) ) dan berfokus pada ideologi sebagai institusi, dan dengan kemungkinan pembangkangan.

Aliran Historisme Baru dan Materialisme Budaya, keduanya menolak otonomi pengarang dan otonomi karya sastra dan melihat teks sastra secara absolut terpisah dari konteks sejarah. Peran pengarang tidak sepenuhnya dihilangkan, tapi masih berperan jika memang diperlukan. Peran pengarang adalah untuk meluaskan ruang lingkup sejarah. Stephen Greenblatt, kritik historisme terkemuka, memaparkan bahwa teks sastra selalu menjadi bagian lebih besar dari kebudayaan, politik, sosial dan ekonomi. Sehingga teks sastra langsung terlibat dalam sejarah. Kritikus Anglo-Amerika mengkritik bahwa teks sastra terikat dengan waktu dan tempat – membentuk kontruksi verbal yang merupakan hal yang politis. Karena tidak terhindarkan bahwa wacana atau sebuah ideologi tidak dapat membantu kecuali dengan kendaraan kekuatan. Konsekuensinya, sastra tidak hanya merefleksikan kekuatan tapi secara aktif berpartisipasi dalam konsolidasi wacana dan ideologi, sama seperti fungsi pembentukan identitas, tidak hanya pada level individu tapi juga pada level kelompok atau bahkan level negara. Sastra tidak hanya produk sejarah, tapi juga membuat sejarah karena tidak hanya melihat sastra sebagai kategori transenden tapi sebagai teks sejarah. Kedua aliran ini memperlakukan teks sastra sama dengan teks lainnya dengan tujuan untuk menelusuri dan menghubungkan kekuatan dan proses ideologi dan kebudayaan – sehingga tidak ada perbedaan antara sastra dan teks lainnya, meskipun berisi hal yang religius, politis, sejarah atau produk kaum marginal yang sebelumnya diabaikan. Akhirnya, menurut mereka, kebudayaan itu berisi nilai dan kepercayaan dalam konstruksinya, kedua aliran ini juga menjamin bahwa asumsi mereka dapat dibangun dan mungkin juga dapat diruntuhkan. Kritikus Aliran Historisme Baru Catherine Galagher mengkritik bahwa Aliran Historisme Baru dan Materialisme Budaya harus dilihat sebagai keberlanjutan dari aliran Kiri Baru pada akhir 1960-an. Sebagaimana kita lihat, tidak semua orang menerima pendapat tersebut.

Aliran Historisme Baru

Perbedaan antara aliran Historisme Baru dan Materialisme Budaya terletak pada peran pembangkangan. Menurut Catherine Belsey, aliran Historisme Baru tidak memiliki tempat untuk pembangkangan.

Istilah historisme merujuk pada pandangan bahwa masa Lampau secara fundamental adalah berbeda. Makna ini sejalan dengan istilah yang digunakan oleh Stephen Greenblatt pada tahun 1982 dalam bukunya Renaissance Self-Fashioning: From More to Shakespeare dan Louis Montrose yang mempertanyakan hadirnya kekuatan genre yang umumnya tidak diasosiasikan dengan praktek kehidupan pastoral. Teori Foucault bahwa ‘hubungan sosial pada dasarnya memiliki hubungan dengan kekuasaan’, Montrose meneliti peran dari Elizabethan dalam hubungan sosialnya dalam essay “Eliza, Queen of Shepeardes”. Renaissance Self-Fashioning meningkatkan pemahaman mengenai penciptaan identitas diri yang bisa dimanipulasi dan sebagai proses seni. Hal ini memungkinkan orang-orang pada era Renaissance menjadi lebih autentik. Self-Fashioning tentu dimaknai bahwa diri sendiri dapat selalu dibangun, bahwa identitas diri bukan merupakan pemberian alami (given), tapi produk hasil dari interaksi dengan cara yang kita inginkan untuk menampilkan diri kita – melalui karya yang kita tulis dan presentasi aktual kita – dan dengan hubungan kuasa yang kita punya. Greenblatt terinspirasi dengan ide Foucault yaitu putusnya sejarah dalam skala besar. Penelitian Greenblatt memperkenalkan tema besar di awal-awal tahun aliran Historisme Baru, bagaimana proses bekerjanya kekuasaan dan praktek dari perubahan peraturan dalam pembangunan era baru, dari transisi pra-modern menuju ke periode modern, dilihat dari otonomi dan kebebasan subyek.

Definisi John Brannigans mengenai aliran Historisme Baru yaitu ‘mode dari interprestasi kritis yang memiliki hubungan kekuasaan khusus (privilege) sebagai konteks utama dari teks dan sejenisnya’ dan juga pendapatnya bahwa ‘praktek kritis memperlakukan karya sastra sebagai tempat di mana hubungan kuasa menjadi lebih terlihat’. Di lihat dari konteks Foucault bahawa kekuasaan bekerja melalui wacana dan seperti ideologi memberikan kesan kepada subyek bahwa menyesuaikan dengan prinsip adalah hal yang biasa, sehingga menjadi bebas dan memiliki pilihan sendiri. Aliran ini melihat karya sastra secara aktif terlibat dalam membuat sejarah melalui partisipasi terus menerus dalam praktek nyatanya. Dalam essay ‘“Shaping Fantasies”: Figuration of Gender and Power in Elizabethan Culture’, Louis Montrose membicarakan serangkaian teks – mulai dari autobiografi, cerita perjalanan dan drama Shakespeare – untuk meneliti bagaimana penggambaran Ratu Elizabeth – pembentukan fantasi – yang memberikan kontribusi pembentukan image ‘ratu suci’.

Aliran Historisme Baru memiliki ketertarikan dengan pemberdayaan kaum marginal yang suaranya kadang tidak terdengar. Aliran ini tepatnya lebih ke arah bidang antropologi walaupun melibatkan sejarah. Sejarah, tidak dibaca sebagai karya pencerahan, melainkan sebagai manifestasi dari praktek yang nyata. Aliran ini memandang segala sesuatu adalah kebudayaan, dan kebudayaan itu dapat dibaca dan diambil sebagian dalam teks sastra. Pandangan ini dimunculkan oleh Clifford Geertz, antropologi Amerika yang berpendapat bahwa semua kebudayaan itu diproduksi termasuk semua tujuan prakteknya, hal ini sejalan dengan kebudayaan poststrukturalis.

Stephen Greenblatt, dalam essay Aliran Historisme Barunya“Invisible Bullets” pada tahun 1981, memuncukan kekhawatiran Foucault dan memperdebatkan mengenai pembangkangan Renaissance yang tidak terelakkan masuk ke dalam tangan kekuasaan. Faktanya, kekuataan membutuhkan pembangkangan dan secara aktif memproduksinya. Alan Sinfield berpendapat bahwa karya Aliran Historisme baru ‘terjebak’ daman model kebudayaan yang tidak memiliki ruang untuk aksi perubahan yang efektif. Pandangan ini serta merta membawa issue gender dan rasis tampil ke muka.

Materialisme Budaya

Kritikus Materialisme Budaya membangun dirinya secara permanen melalui karya sastranya di pertengahan tahun 1980-an dengan publikasi dari Jonathan Dollimore Radical Tragedy : Religion, Ideology and Power in the Drama of Shakespeare and his Contemporaries (1984), Catherine Belsey The Subject of Tragedy: Identity and Difference in Renaissance Drame (1985), dan 2 koleksi essay : Alternative Shakespeare (1985) yang diedit oleh John Drakakis dan Political Shakespeare : New Essay in Cultural Materialism (1985) yang diedit oleh Jonathan Dollimore dan Alan Sinfield.

Kesamaan dari Aliran Historisme Baru dan Materalisme Budaya adalah subyek wacana tidak dapat melebihi masanya tapi hidup dan bekerja di dalam batasan kebudayaan yang dibangun dari ideologi. Apa yang menyebabkan Aliran Materialisme Budaya terpisah dari aliran Amerika lainnya? Sebabnya antara lain karena aliran ini bersebrangan dengan pandangan Aliran Historisme baru dalam hal pembangkangan. Aliran Materialisme Budaya menyetujui bahwa teks sastra pada awalnya mendukung ideologi kontemporer, tapi melihat ideologinya kurang menyebar dibanding Aliran Historisme Baru. Meskipun pengaruh Foucault terlihat dalam karyanya, terutama mengenai kewarasan, kriminalitas, eksploitasi dan semua hal yang marginal – Materialisme Budaya mengikuti ide William dalam adaptasinya yang sejalan dengan pandangan Gramci. Bagi William, kebudayaan dominan hanya satu pemain dalam lingkup budaya, meskipun pengaruh kekuasaan tidak terlalu kuat. Selalu ada tekanan di dalam budaya yang menawarkan hegemoni alternatif. Dengan kata lain, budaya dominan selalu mendapatkan tekanan dari pandangan dan kepercayaan lainnya sebagai alternatif. Materialisme Budaya menganalisa teks sastra untuk mengetahui bagaimana teks ini menjadi instrumen yang dominan dalam kelompok sosial budaya, dan juga menampilkan bagaimana kelompok ini mendapat ancaman dari dalam.

Diskusi Alan Sinfield mengenai Othello – Shakespeare di dalam karyanya Faultlines : Cultural Materialism and the Politics of Dissident Reading (1992), mengetengahkan peran Desdemona dalam kultur patriaki, dimana ia harus mematuhi ayahnya dan membuatnya mematuhi pilihan ayahnya dalam pernikahannya. Dalam era modern awal, kita melihat adanya peningkatan kesadaran bahwa pernikahan seharusnya berdasarkan keinginan pribadi. Kontradiksi ideologi pernikahan – salah satu dari kesalahan Sinfield – membuat Desdemona menolak keinginan ayahnya dan menikahi lelaki dari kalangan yang tidak sepadan menurut ukuran saat itu. Hasilnya, ia mendapat tekanan dari kalangan sosialnya. Penulis melihat bahwa Sinfield tidak menggambarkan Desdemona sebagai humanist liberal, ia tidak bebas, sebagai agen dalam pilihan pembangkangan. Hal ini menjadi pertanyaan bagaimana Sinfield menyebutnya sebagai ‘potensi pembangkangan’. Pembangkangan tidak hanya persoalan pada agen individu tapi pada dasarnya diproduksi oleh kontradiksi internal yang dikarakterisasikan dalam kelompok sosial manapun.

Sengitnya perdebatan membuat Materialisme Budaya pada pertengahan tahun 1980-an mengakui efektivitas dari intervensi ini, meskipun juga ditampilkan kekuaatan beberapa sastra akademik yang cenderung tradisional dan humanis. Sama seperti Aliran Historisme Baru, aliran Materialisme Budaya menjadi lebih kritis dan pada awal 1990-an melebar ke isu kekuasaan dan seksualitas (feminisme) – selalu dengan tujuan perubahan politik. Jonathan Dollimore dalam karyanya Sexual Dissidence : Augustine to Wilde, Freud to Foucault (1991) dan Alan Sinfield dalam karyanya The Wilde Century: Effemincay, Oscar Wilde and the Queer Moment (1994) dan Cultural Politics – Querr Reading, menunjukkan perkembangan ini.

Daftar Pustaka

Bartens, Hans. 2008. Literary Theory – Second Edition. UK : Routledge.

Leave a comment